Tuesday, October 24, 2023

Ayam

Aku ini ayam, aku dikurung dan dibiarkan berlari tapi hanya sebatas ini... tidak terlalu jauh jika aku pergi jauh mereka akan datang menangkapku, selebihnya kurungan yang lebih lama sebagai hukumanku...

aku ini ayam, aku selalu diberi makan meski aku bisa mencari makan sendiri, tapi mereka selalu memberiku makan terlalu banyak bahkan tidak sesuai kebutuhanku, apa karena mereka terlalu mencintaiku, mereka tidak ingin aku kelaparan dan bersusah payah cari makan di luaran.

Aku ini ayam, aku bertelur dan telurku menetas lalu lahirlah seekor unggas, anak itu sepertiku seharusnya adalah juga ayam. tapi menurutnya dia bukanlah ayam.

"Aku bisa terbang aku ini burung" ucap anakku, aku hanya tertawa mendengar celotehnya, ya mana mungkin seekor burung lahir dari rahim seekor ayam. Dia hanya anak - anak pada umumnya tak tau identitas dirinya, kenyataan bias tercampur khayal dan impian. Mana bisa seekor ayam mendamba menjadi burung. Apa karena dia ingin sebebas itu ? apa hidup denganku di tempat ini yang membuat kita terkurung ini tak cukup baginya ? apa dia tidak sebahagia itu denganku, meski kecil tempat ini tetap hangat, kami bisa selalu dekat. Ketimbang harus melayang - layang terbang di angkasa luar, apa hebatnya jadi burung ? makanan mereka tak ada yang menjamin, harus menahan lapar sebelum mendapatkan mangsa. Aku dan semua kemudahan disini dan kasih sayang manusia kepadaku bagiku sudah cukup. Aku bangga dan bersyukur karena aku seekor ayam.


PS : Tar lagi diselesain kalo ada inspirasi...

Tuesday, July 25, 2023

Bunga Hari Kamis (Cerpen Misteri)


"Gue ga ngerti pon kenapa nyokap lu ga betah tinggal di rumah ini. Rumahnya enak kok,  jauh dari pusat kota cocok buat hari tua. Kan bokap lu udh pensiun juga, tinggal disini udaranya masih asri. Ga kaya di jakarta udah macet, sumpek!" Ujar gito pada klepon teman kuliahnya. Nama aslinya toni tapi teman - temannya lebih sering panggil dia klepon, karena gaya rambut botak tumbuh tipis - tipis serupa parutan kelapa pada kue klepon. Klepon menghela nafas lalu mencoba menjawab pertanyaan basa basi gito.

"Hmm. Iya sih sayang ini rumah dijual. Tp semenjak rumah ini jadi, nyokap ga betah disini. Dikontrakin pun yg ngontrak ga betah lama - lama. Katanya udaranya panas rumah ini. Mungkin karena fentilasinya kurang kali ya" 

"Cuy, ini tuh bogor. sepanas2nya cuy, masih keguyur hujan. Ini belom maghrib aja dingin begini."

"Sekarang sih masih dingin, biasanya malem yang panas. Klo kata nyokap gw mah."

"Gw kok punya pikiran laen yak tentang rumah ini. Lu tau ga semacam kaya black magic gitu. entah ditaroin tanah kuburan, kembang setaman atau bahkan ditaro mahkluk halus buat nutup aura rumah ini. Makanya dikontrakin ga laku, dijual juga belom ada yg minat. Yang punya aja ogah tinggal disini"

"Gile luh anak jaman now pikirannya masih klenik. Gw sih ga percaya sama yang kek gitu. Mungkin emang lokasinya juga agak ke dalem jadi orang agak ribet akses kemana mana."

*** 

Gito terbangun dari tidurnya, dengan badan dipenuhi keringat. Entah kenapa malam ini terasa begitu panas. Berbeda dengan sore tadi. 

Gito kemudian samar - samar mendengar suara rintihan anak kecil meminta tolong kepanasan, lalu kemudian suara itu makin keras. Dilihatnya klepon tengah tertidur pulas di sampingnya. Begitu lelap hingga gito tak tega mangusiknya. 

Panaaas kak toloooong, panaaass~ 

Suara tersebut terdengar jelas oleh gito, suara anak laki2. Tapi siapa pikirnya. Malam ini hanya ada klepon dan dirinya di rumah ini. Seingatnya, mereka mulai tidur lewat tengah malam. Anak siapa yg malam - malam minta tolong. Gito mulai merasa ada yang aneh, bulu kuduknya mulai berdiri. Ia memaksa diri untuk tidur kembali, tapi hanya bisa sekedar terpejam dengan kesadaran penuh.

"Haduh ini ga beres nih, udah pasti demit nih"

Kaak, tolooong kak. Panaaaasss~

Suara tersebut perlahan makin senyap, kemudian suasana menjadi hening begitu sunyi. Yang terdengar hanya hembusan nafas kencang dari tubuhnya sendiri.

"Kata orang klo itu makhluk jauh malah kenceng suaranya, tapi klo dekat malah pelan. Hamsyong dah ini" 

Sekejap seperti ada sesuatu didepan matanya, yang menyilaukan. Ada sensasi seperti terbakar sinar matahari pada wajahnya. Lalu gito memberanikan diri membuka matanya perlahan.
Pada saat membuka mata, yang terlihat di hadapannya terdapat sosok dengan kulit penuh luka bakar tengah memelototinya.
Sontak ia terkejut dari berlari ke luar kamar. Sampai ruang depan dilihatnya jam dinding baru menunjukan pukul 02.00 pagi

"Oh sh*t. Baru jam segini. Itu tadi apa ? Serem banget njiiir"

Kemudian gito mencoba menenangkan diri, setelah yakin sosok itu tidak mengejarnya. Ia memutuskan untuk menghirup udara di luar. Betapa kagetnya gito ternyata diluar terdapat seorang lelaki berpakaian serba hitam sedang menaburkan bunga setaman dari celah pintu pagar.

"Heh siapa lu ?!" Teriak gito, sadar ada yang memergoki aksinya lelaki itu pun melarikan diri. Gito berusaha mengejarnya. Dan lelaki itu pun akhirnya tertangkap oleh gito. 

"Ampun, mohon ampun. Saya ga berniat jahat"

"Terus bapak ngapain naburin bunga kuburan gitu di rumah temen saya ? Bapak jangan - jangan yg jailin rumah itu ya"

"Bukan mas, bukan. Saya cuma lagi nengkokin anak saya. Nyekar"

"Hah nyekar ?! Maksud bapak ?"

"Sy warto pemilik lama rumah itu, sebelumnya kami tertimpa musibah. Anak saya mati terjebak kebakaran beberapa tahun lalu. Setiap malam kamis, sy cuma nyekar bawakan kembang. Supaya dia tenang. Ini permintaan anak saya, dia datangi saya dalam mimpi"

"Ini..  ini harus dikasih tau temen saya pak. Bapak ikut saya sekarang. Kita jelaskan ke dia."

Gito menggandeng tangan pak warto dan menggiringnya ke rumah. Sampai di rumah, pak warto disuruh menunggu di ruang tamu sementara dirinya ke kamar untuk membangunkan klepon. 

"What the hell !!! Apa apaan ini ?! Ini ga mungkin... ga mungkiiiinnn ga mungkiiiinn !!!"

Gito berteriak histeris sambil menangis ketika ia mengetahui pemandangan di kamar. Di kamar itu klepon masih tertidur pulas. Disamping klepon terdapat sosok yang juga tertidur pulas. Namun sosok di samping klepon itu adalah gito. Gito melihat raganya tengah terbaring dengan wajah pucat, kaku, mata terpejam dan bibir tersenyum. Lalu dirinya ini siapa ?! 
Dan yang ada di samping klepon siapa ?! Apakah gito sudah meninggal dunia ?!
Gito berteriak sejadi - jadinya... 

*** 

"Istigfar to, istigfar... To bangun to, lu kenapa sih jangan nakutin gw to." Kata klepon sambil mengoyak - ngoyak tubuh gito berharap gito segera sadarkan diri. 

***

"Gw dari tadi ga bisa tidur orang gerah banget. Gw main game online aja, elu tuh tidur ga baca doa kali. Lagian gw ajakin mabar malah keburu molor. Mana mimpi heboh banget pake teriak2 ga jelas." Jelas klepon kepada gito, setelah gito sadar dan kini dalam kondisi tenang.

"Sebentar pon, gw mau keluar. Mau mastiin itu mimpi maksudnya apa. Kok kaya yang nyata banget gitu" ujar gito lalu berjalan ke arah luar untuk memastikan petunjuk di mimpinya. 

"Pon klepon, sini pon. Pon keluar sini pon"

"Tuh kan bener, ini ada nih yg nebar bunga kuburan di sini. Jadi tadi mimpi gw tuh kaya ngasih petunjuk atau apasih. Ini kenapa bunganya beneran ada di sini pon ?!" Tambah gito lengkap dengan wajah panik.

"To, lu tenang aja dulu. Gw lupa cerita, klo tiap minggu gw nengokin rumah ini. Selalu banyak sampah bunga2an disini. Gw mah santuy aja, gw pikir inimah kebawa angin gitu. Jadi gw sapuin aja beres. Gw ga tau klo ternyata beneran ada yg sengaja nebar bunga seger kaya gini tiap kamis."

"Wah gila inimah pon. Bisa gila nih gw... berarti mimpi gw tadi bener dong. Ini rumah tuh dulunya bekas kebakaran, dan makan korban anak kecil. Bapaknya yg tiap kamis malem nebar bunga ini buat nyekar anaknya. Mungkin itu juga yg bikin ini rumah hawanya panas banget. Cobalah besok lu tanyain pak RT, dia kan udh lama di sini, kali aja dia tau ceritanya. Siapa yg mau beli, klo rumah bermasalah kek gini."

"Pemilik rumah lama gimana sih to, nyokap bokap gw dulu beli tanah kosong. Mereka yang bangun rumah ini, bikin pondasi dari awal. Dan ini juga bukan bekas pemakaman. Mau nyekar gimana sih maksudnya."
 
*** 

"Yang ada di mimpimu itu pak warto? Ya sudah anggap aja cuma bunga tidur. Cuma mimpi kok." Kata pak RT setelah mendengar cerita Gito.

"Tp itu bunga kenapa beneran ada disitu pak ?!" 

"Pak warto juga korban kebakaran tersebut." Tambah pak RT.

"Bajiguuur... Ternyata dia juga demit kan pon" 

"Elu diem dulu, biar pak RT jelasin" klepon berusaha menenangkan gito.

"Eh diminum dulu kopinya nak. Biar ga terlalu tegang. Temenmu ini kayanya syok banget."

"Jd waktu itu bu lastri istrinya pak warto, pulang kampung mau lahiran disana. Pak warto dan anaknya danang tinggal disini karena danang masih bersekolah. Mereka tewas karena terjebak kebakaran sewaktu tidur. Karena kejadian malam hari banyak warga yang masih tertidur juga, pada saat mereka mau ditolong mereka sudah tertimpa atap rumah yang terbakar. Istrinya akhirnya memutuskan untuk merobohkan rumah dan menjual tanah saja. Kejadian ini tidak diceritakan oleh warga agar tanahnya laku terjual. Semenjak kejadian itu, tiap kamis malam warga yang melintasi tanah itu selalu diganggu sosok yang menjelma sebagai pak warto dan danang untuk meminta ditaburi bunga setaman di tempat kejadian. Jadi sebenarnya kembang setaman itu warga yg ronda yg rutin menebarkannya." 

"Dan ibu kamu adalah orang yang tertarik untuk beli tanah ini karena memang harganya sangat jauh dari harga pasaran. Menurut saya, km selaku pemiliknya sekarang berhak tahu asal muasal rumah itu. Maafkan sy baru bercerita sekarang. Sy juga ga tega liat lastri waktu itu. Jadi sy ikut bungkam. Sampaikan maaf ini ke bapak ibumu ya nak toni"

Tamat~~

Oleh : Lia

Seperti Biasa

 

    Sepotong senyum merambat masuk bersama deru angin yang menghempas dedauan malam ke dalam kamarku melalui jendela kamar diiringi sinar bulan separuh. Aku mengenalnya dengan sangat jelas, jelas sepotong senyum yang selalu kuingat. Disetiap malam ia selalu datang menghantarkan aku yang mencoba untuk terlelap. Biasanya ia pergi sendiri seraya mata ini terpejam. Ia hilang. Dan manakala aku kembali terjaga, ia tetap hilang. Pernah kala itu mataku dengan sengaja ku pejamkan, sebentar saja, setelah kubuka kembali ia tetap hilang. Itu artinya aku harus terus menatapnya agar dia kekal bersemayam di dinding kamarku. Hanya dengan terjaga aku bisa bertemu dengannya. Sepotong senyum yang aku kenal dengan sangat jelas.

    Sepotong senyum itu hanya mau datang pada malam hari menemuiku yang telah bersiap utnuk tidur hanya kala cuaca cerah. Pada waktu musim penghujan ia tak pernah datang.Pada musim penghujan awan mendung selalu datang dan menutupi bulan hingga cahayanya tak lagi mampu membiaskan sepotong senyum itu. Ia hanya mau datang bersama cahaya bulan. Pernah ku coba ciptakan cahaya bulan dengan menyalakan lampu agak remang yang sinarnya menyorot ke arah dinding tempat sepotong senyum biasa menemuiku.Tapi senyum itu tetap saja tak mau datang. Ia tak sebodoh itu bisa tertipu. Aku yang bodoh. Sepotong senyum itu yang membuatku jadi bodoh. Aku hanya ingin ia datang seperti biasa. Setiap malam. Tak peduli hari ini cerah atau hujan. Tak peduli lampu remang ataukah cahaya bulan. Dia tidak seharusnya datang dan pergi begitu saja. Mungkin mudah untuknya, tapi bagiku. Setelah kesan dan pesan tersirat yang selalu ia tinggalkan disetiap malam perjumpaan kami. Walau hanya sebuah siratan yang sampai saat ini belum mampu kuejawatahkan.

    Malam ini hari cerah, sudah seharusnya ia datang. Seperti biasa, hah syukurlah juga ada cahaya bulan. Tunggu saja sebentar lagi ia akan menyelinap masuk. Ya, seharusnya ia sudah masuk. Apa kali ini ia terlambat datang. Atau ia salah menyelinap masuk ke kamar lain. Tapi mana mungkin. Hanya ia yang aku kenal. Hanya padaku ia datang. Kamar ini spesial. Aku pun istimewa. Mungkin karena itu ia hanya senang berjumpa denganku. Menemani aku hingga aku terlelap. Sepotong senyum itu sepertinya memang ada untukku.

 

    Malam hari dikala sinar bulan mulai benderang, jutaan senyum keluar dari sangkarnya bagaikan burung mereka beterbangan menuju sebuah tempat singgah yang bisa membuat mereka nyaman. Senyum  - senyum itu biasanya menyelinap masuk dari jendela bersama cahaya bulan yang membiaskan wujud mereka. Mereka hanya akan hinggap ke kamar yang belum terisi oleh senyum – senyum lain. Dan mereka akan pergi bila merasa sudah tak diperlukan. Senyum – senyum itu kadang bergantian tempat singgah dengan senyum – senyum yang lain. Dan apabila cuaca tidak cerah. Mereka akan mencari tempat singgah baru yang disinari cahaya bulan. Seberapa jauhpun tempat singgah itu. Akan mereka tempuh. Terkadang senyum itu dapat menjadi mereda lara, tapi juga meninggalkan kecewa manakala senyum tak bisa datang. Datang dengan mengejutkan, dan pergi tanpa salam. Penuh perhatian namun acuh. Indah sekaligus buruk rupa. Senyum selalu mengambarkan pemandangan kontras. Nyata tapi tak bisa tersentuh. Walau sesungguhnya mereka yang dihinggapi senyum itu hanya terbiasa ditemani keberadaannya. Tapi tak mengerti bahwasanya peranan senyum – senyum itu hanya sebatas pemberi nilai estetika dari keindahannya semata. Keindahan rupanya, dan cara kemunculannya. Itulah hakikat senyum.

    Dimalam hari  yang cerah,  dengan cahaya bulan yang menyelinap dari jendela kamar. Seseorang tengah menunggu senyum yang biasa bersemayam di salah satu sisi di dinding kamarnya. Sampai saat ini, senyum yang dinantinya tak kunjung datang. Sampai akhirnya ia jenggah dengan penantiannya itu.

Ini tak seperti biasanya. Walau setiap tanda akan munculnya sepotong senyum sudah ada. Tapi mengapa kali ini prediksiku meleset? Apa senyum itu tak mau lagi hinggap di kamar ini? Lalu kemana ia akan pergi ? kepada siapa ia datang bila malam ini tak ada bersamaku ?

                Si penanti sepotong senyum itu terus saja meracau bertanya – tanya akan alasan sepotong senyum tak ingin  menghampirinya. Tanpa ia sadari di sebuah sisi lain di dinding kamarnya, telah hinggap senyum lain yang sedari tadi tengah menemaninya.Sudah ribuan malam senyum - senyum silih  berganti menemaninya. Dengan muncul di sisi berbeda. Hanya karena sepotong  senyum pada malam sebelumnya datang tepat disaat si penanti menyadarinya, ribuan senyum lain yang pernah hinggap jadi tak berarti. Dan senyum yang datang malam ini, seperti halnya senyum – senyum lain,ia pun  akan hilang seraya si penanti itu terpejam. Sama seperti biasanya.

Oleh : Lia

Gelap (Cerpen)

 

Ada yang salah dengan hari ini, entah kenapa malam kian terasa makin panjang. Jatah badan untuk beristirahat bertambah, ada beberapa jam lagi untuk terlelap kembali. Tapi Anwar yakin memang ada yang salah dengan malam ini. Logikanya pada saat bumi berputar akan ada bagian dunia yang terjadi siang dan bagian yang lain akan terjadi malam. Tapi kenapa dibagian dunia tempat anwar bernaung malamnya diperpanjang.  Apa disana juga siangnya bertambah lama ?

“Kini aku baru sadar kenapa di negara timur tengah sana banyak sekali gurun. Ya, mungkin memang begitu, karena siangnya terlalu lama. Untuk itu kita disini merasakan malam yang agak panjang. Bukan begitu Yat ?” Tanya anwar kepada sahabatnya Dayat yang memang sedang terbaring disebelahnya, Dayat menemani Anwar menghabiskan malamnya yang terasa amat panjang.

Dayat mengangguk saja, walau sepertinya percuma karena dengan malam yang bertambah panjang untuk anwar dia tidak bisa melihat rupa temannya itu.

“Kau setuju Yat ? Mengangguklah jika iya.” Anwar agak marah karena Dayat tidak merespon.

“Iya aku setuju, dan juga sudah mengangguk. Tapi apa kau bisa liat aku mengganguk ? Kau bilang malam ini gelap bukan ?” Kata Dayat kesal.

“Oh iya, benar juga ya. Payah betul. Sudah malam panjang begini, ditambah juga mati lampu. Aku bisa liat apa ? Aku seperti bicara sendiri. Padahal ada kau ya ?”

“Sudahlah jangan meracau terus. Kalau memang masih mati lampu, tidur saja.”

“Tidur atau sadar tidak ada beda Yat. Sama – sama Gelap, Mata tertutup pasti gelap, mata terbuka juga masih gelap. Bedanya kalau aku tidur aku bermimpi ,kalau aku sadar aku menghayal. Ah, hidup - hidup… kenapa pilihannya hanya dua ?”

“Yang kau mau dikasih berapa pilihan ?”

“Aku hanya mau seperti dulu, bekerja di siang hari. Terang. Aku rindu terang. Dan nyalakan lampu untukku pada malam hari. Agar aku tak kegelapan.”

“Kau ini maunya apa ? kau mengejek ya ? sudah jangan bicara lagi kalau malam semakin panjang atau juga mati lampu. Malam tetap seperti biasa war. Siang juga seperti biasa. Terimalah, kau kini buta. Jangan bertindak seolah – olah kau tak tahu apa – apa. Tabah sajalah. Terima sajalah nasibmu war, aku tahu pasti berat. Tapi terimalah saja.”

“Dayat, teganya kau bicara seperti itu. Aku tidak akan selamanya begini yat, Aku tidak buta yat. Aku hanya terjebak dalam keadaan yang tidak memungkinkanku untuk melihat. Bukan aku yang buta, hanya dunia saja yang menjadi gelap. Tidak ada sinar yang mampu tertangkap oleh mataku. Mungkin memang malam bertambah panjang, dan lampu pun sedang dimatikan. Aku sadar betul Dayat, tapi apa salahnya aku berharap semoga Tuhan menyalakan lampunya lagi untukku. Menambahkan pilihan hidup selain mimpi atau khayalan. Dayat, hanya dengan cara ini aku mencoba tabah. Kalau kau pikir aku tak waras, ya biarlah. Minimal aku bukan makhluk rongsok yang tak bernyawa lagi hanya karena kebutaan ini.”

“Tapi kalau waktu itu aku berhati – hati berkendara, pasti kau tidak akan begitu. Dan aku pun tidak akan pula begini.”

“Sudahlah Yat, tabahlah seperti apa yang kau suruh padaku.”

Didalam ruang rawat inap kelas tiga, terbaring di dua tempat tidur pasien yang berdekatan dua orang sahabat korban kecelakaan dua hari yang lalu. Seorang diantaranya terbaring dengan perban yang melingkari matanya dan seorang yang lain terbaring dengan hanya memiliki satu kaki, satu kaki miliknya yang lain telah diamputasi siang tadi karena luka yang membusuk. Keduanya berpegangan erat. Salah seorang diantaranya sudah terlelap, sedangkan yang matanya terbalut perban, tidak ada yang tahu apakah dia telah tidur dan bermimpi atau sadar dan berkhayal dalam dunia yang dia pikir gelap.

Oleh : Lia

~~·~~  Tamat  ~~·~~

The Participant (Cerpen)

 

Matanya terperangah menghadang temaram menyusuri ladang ilalang. Ada pamandangan bagus yang mengusik batinnya, mengundang hasrat untuk menatapnya lama – lama. Indah memang, terang bulan ketika purnama cahayanya membiaskan gambar siluet dari seekor kijang liar di atas bukit. Kala malam di sebuah hutan. Seekor singa jantan yang masih kelaparan lebih memilih untuk pulang, meski ia sadar kalau dengan hanya memandang hasratnya  takkan terpuaskan. Tapi, pemandangan indah tadi sudah cukup baginya, cukup untuk malam ini.

***

Seekor singa jantan dengan badan yang kurus, sudah lima bulan ia tidak memangsa sejak pertama kali dinobatkan menjadi raja. Gaya hidupnya kini berubah. Ia bukan lagi pemangsa. Kecintaan singa pada rakyatnya membuat ia lebih memilih untuk menjadi  vegetarian. Singa makan sayur menurutnya lebih terhormat daripada harus memakan rakyatnya.Tapi hal itu pula yang menjadi bumerang baginya. Kesehatannya lambat laun kian menurun, kini ia menjadi sakit –sakitan. Tidak kuat lagi berlari, bahkan mengaumpun layaknya kucing betina yang sedang marah.Tak ada lagi yang bisa diandalkan,ia pun kini tak bisa mengejar musuh, apalagi melindungi hutan. Yang ada hanya Sang Singa Raja Hutan pesakitan, dan kini suasana hutan kian mencekam karena tengah diteror serangan anjing – anjing liar.

“Kau lihat gajah, gajah itu besar, bisa melindungi apa saja di daratan. Kau lihat buaya, dia bisa menjaga binatang – binatang lain di sekitar rawa. Belum lagi harimau, ular, dan lainnya. Tanpa harus mengandalkan aku, sebenarnya kalian bisa hidup tentram. Sudah terlalu banyak jagoan di hutan ini. Kenapa harus bingung kalau kehilangan satu ?”

“Sudahlah, jangan berkilah. Aku lihat tadi malam bagaimana kau terperangah menatapi siluet seekor kijang di bukit. Kau tak mengalihkan pandangan barang sedetik, air liurmu menetes –netes di tanah. Kau tahu kau sangat menginginkannya, tapi lantas kau lebih memilih mengunyah rumput basah didepanmu daripada memburunya. Setelah merasa cukup, kau lantas pulang. Perutmu saja yang kenyang, tapi hasratmu sebagai pemburu kelaparan dahsyat. Sampai kapan kau akan bertahan dengan kebiasaanmu yang memuakkan itu? ”

“Sampai kapan ? selama aku masih dipercayakan oleh rakyatku untuk mengemban tugas sebagai raja mereka. Aku akan terus seperti ini. Aku tidak mungkin memakan mereka yang seharusnya aku lindungi. Mereka memilihku karena butuh perlindungan. Mereka sudah cukup lemah.”

“Tapi apa kau bisa melindungi mereka dengan keadaanmu sekarang. Nantinya kau malah mati konyol. Singa munafik yang mati karena kurang gizi. Hah, amit – amit kalau aku mendengar ada berita seperti itu. Apalagi kalau tahu yang mati itu adikku sendiri. Lebih baik aku saja yang mati, terkena panah nyasar. Itu jauh lebih terhormat.”

 

”Dalam sebuah sistem butuh partisipasi dari setiap individu. Tapi hanya ada 3 hal yang akan terjadi setelah kita tidak berpartisipasi lagi di dalam sistem itu. Sistem itu akan memburuk, biasa – biasa saja, atau justru menjadi lebih baik karena ketidaksertaan kita didalamnya. Jadi janganlah terus mengait – ngaitkan kebiasaanku sekarang dengan serangan anjing liar itu. Sistem pertahanan hutan harus tetap berjalan, meski bukan aku lagi yang menjadi punggawanya.”

“Kau harus kembali seperti dulu Adikku, simpan keras kepalamu. Jangan Naif. Aku tahu disini banyak sekali jagoan. Tapi mereka hanya serdadu - serdadu yang butuh kau arahkan. Jika tidak mereka hanya akan membabi buta tak keruan. Menyerang seenaknya ke segala arah, lalu kalah. Kau rela melihat rakyatmu, serdadu –serdadumu itu, yang kau bilang jagoan- jagoan itu, mati satu per satu ? Pikirkanlah. Dan selagi kau berpikir, aku punya tamu untukmu. Mungkin kehadirannya bisa membuatmu melunak. Sedari tadi ia menunggu diluar. Kita sudahi saja percakapan ini.”

“Siapa tamu itu ?”

“Nanti juga kau tahu, akan aku panggilkan. Sambil aku menunggu kalian saja di luar.”

Seekor kijang jantan nan gagah berjalan memasuki istana. Istana Hutan ini bukan merupakan bangunan megah yang gemerlap. Istana di sini hanya terbuat dari susunan ranting sebagai pagarnya, jerami kering sebagai atapnya, beralaskan tanah, berdinding bambu yang dipasang rapat, dan singgasana dari sisa batang pohon tua yang tumbang. Sang Raja rupanya mengenali tamunya ini, tamu yang lekuk tubuhnya menyerupai siluet yang semalam dipandanginya di bukit. Si Kijang menghadap kepada Raja Hutan, Singa itu menahan hasratnya, ia lapar memang.

“Jangan, jangan… Tahan,tahan… Jangan lihat itu, itu hanya tipuan. Dibalik tubuh yang sehat dan tanduk yang gagah itu tersimpan kelemahan. Apa kau tega melumatnya, dia itu rakyatmu.” Dalam hatinya Singa bergejolak, tapi lantas dengan sekejap ia mampu menguasai emosinya dan berkata.

“Ada apa gerangan kau menghadapku Kijang ?”

“Sebelumnya hamba mohon maaf Paduka, atas kedatangan hamba yang mungkin mengejutkan Paduka. Hamba menghadap, dengan niat tulus hamba untuk ikut menjaga keamanan dan ketentraman hutan ini.” Jawab Kijang Jantan Itu dengan kepala yang menunduk.

“Apa yang kau maksudkan, Kijang? aku tidak mengerti, aku tidak pernah memanggilmu untuk menghadapku untuk kumintakan bantuan. Sadarkah kalau kau hanya seekor kijang biasa, kau bukan prajurit. Bahkan kau pun tidak bisa melindungi diri dari pemangsa lain.”

“Mohon maaf Paduka, tapi hamba memang tidak ingin menjadi seorang prajurit yang mengabdikan diri hamba untuk berperang.”

“Lalu dengan cara apa kau akan melaksanakan niat baikmu itu ?”

 

“Maafkan hamba atas kelancangan hamba paduka, tapi hamba terlalu menyadari bahwa hamba ini hanya binatang lemah. tapi ijinkan hamba berpartisipasi dengan cara hamba sendiri . Yang pastinya ini akan berhasil dan  dapat menyelamatkan hutan ini. Untuk itu hamba dengan suka cita merelakan diri untuk dijadikan santapan makan malam bagi Paduka Raja.”

“Picik sekali pikiran kakakku itu. Dia lakukan segala cara agar aku bisa kembali sehat. Tidak – tidak. Kau pergi saja. Aku tidak mau mengorbankan salah satu dari rakyatku untuk kepuasanku sendiri.”

“Ini bukan masalah picik atau cerdik, kepuasan sendiri atau pengorbanan. Kau lihat, aku sengaja mendatangkan kijang jantan yang kau perhatikan semalam, yang sangat kau inginkan. Untuk kebaikan semua rakyatmu, ia saja rela mengorbankan dirinya untuk jadi santapan makan malammu. Kenapa kau tak rela sedikitpun untuk mengorbankan keras kepalamu itu. Aku tak habis pikir.” Ujar Sang Kakak yang tiba – tiba menyelinap masuk.

Sang raja terdiam, semua yang ada diruangan membisu. Suasana amat hening, semua seakan sengaja membungkam diri untuk memberikan ketenangan Sang Raja yang tengah berpikir. Tak lama, sang raja menghembuskan nafas kencang, dan keputusannya pun diumumkan.

“Hmm, Baiklah jika itu mau kalian. Siapkan aku kijang lain yang kurus, penyakitan dan hampir mati. Jangan yang ini. Aku tak mau yang ini. Singkirkan dia dari sini sebelum aku berubah pikiran. Siapkan makan malamku. Kita berpesta malam ini.”

***

Dimalam yang cerah penuh cahaya bulan. Telah tersaji hidangan makan malam sesuai permintaan Raja. Kijang kurus, penyakitan, dan hampir mati. Malam ini hutan berpesta, Rakyat dari segala penjuru tengah berkumpul untuk menyaksikan momen berharga ini.  Ketika Kakak dari Sang Raja selesai memberikan sambutannya. Dengan lahap Sang Singa Raja Hutan itu menikmati santapan makan malamnya. Suasana pecah, gemuruh sorakan rakyat hutan menggema. Semuanya merayakan hari kembalinya raja mereka sebagai Singa. Singa itu berlumuran darah di wajah dan cakarnya, sementara kijang hanya terbaring tak bernyawa dengan tubuhnya yang terkoyak .Singa mengaum kembali dengan auman yang lantang, jantan dan terdengar lebih tangguh.

Sudah menjadi hukum alam, Singa yang terlahir untuk menjadi yang kuat dan melindungi yang lemah, selemah – lemahnya, ia harus dikembalikan kepada kodratnya. Begitu juga dengan kodrat kijang itu. Biarlah setiap mereka berpartisipasi sesuai kemampuannya sendiri. Entah apapun hasil dari peran mereka nanti, akankah  keadaan kian memburuk, biasa saja, atau bahkan membaik.

 

The End

Oleh : Lia

Putri Dongeng (Cerpen)

 

Di sudut kota sebelah utara, di sebuah toko buku kuno kecil  di seberang halte bus itu aku sering berjumpa dengannya, bukan perjumpaan – perjumpaan antara sepasang kekasih yang saling mencintai. Tapi aku hanya menatapnya dari kejauhan, melihatnya yang sedang menata buku, dan membersihkan toko sebelum buka, hanya dari kejauhan. Entah kenapa sampai saat ini aku belum bisa memberanikan diri untuk menghampirinya dan berkenalan, setidaknya kami bisa mengobrol setelah itu. Hanya mengobrol, bahkan itu seperti mimpi. Dirinya seperti putri dalam dongeng yang ada di benakku. Hingga aku tak mau melewatkan kisahnya. Andaikan ini mimpi, aku tak mau terbangun. Tapi sayang, ini kenyataan dan aku hanya mahir dalam berkhayal. Kenyataan di dunia ini bukan milikku. Aku hanya mendapat peran sebagai pemanis di panggung sandiwara maha megah ini. Sedangkan putri itu, putri dongengku, tentu saja pemeran utamanya. Tugasku hanya menjaga keselarasan cerita. Aku tak mau jadi penghancur alur cerita dengan bersamanya. Putri itu selayaknya juga mendapatkan pangeran tampan yang sebagai pemeran utama juga. Yang sebanding dengannya. Seorang yang telah digariskan Tuhan untuk menjaganya.Sedangkan  aku, aku hanya sebagai pengagumnya. Itu perbedaan yang cukup signifikan bukan?

Semua itu, aku dan khayalanku akan putri dongeng itu bermula beberapa tahun yang lalu.Tentu saja ditempat yang sama dimana aku sering memandanginya seperti sekarang ini. Di sudut kota sebelah utara. Saat itu aku sedang menunggu bis untuk membawaku ke tempatku  bekerja di St. Wishburg. Kala itu musim dingin, saat itu aku hanya terdiam menoreh ke segala arah. Aku bosan dengan pekerjaan satu ini, menunggu. Sampai mataku menangkap pemandangan yang menakjubkan. Membuatku enggan berkedip walau untuk sedetik. Di seberang jalan yang tepat dari halte bus tempatku menunggu, di sebuah toko buku kuno kecil, ada seorang gadis manis sedang merapikan buku – buku dan membersihkan toko. Senyum yang menawan, Rambutnya berkilau. Seandainya ia juga melihatku. Tapi tak apa. Sejak saat itu aku senang menunggu. Bahkan menunggu kini jadi hobiku. Aku tak lagi menggerutu saat mengunggu. Entah hal gila apa ini. Tapi aku selalu menikmatinya. Sepasang mata penuh takjub yang tak pernah bertemu dengan matanya, aku seperti menjadi halte bus yang bisu dan tak pernah ia pedulikan meski nyata ada di hadapan.

Pernah pada suatu hari aku mencoba untuk berjalan menyebrang untuk menghampirinya. Aku mau berpura – pura membeli buku, meski aku tak suka membaca. Atau hanya sekedar memastikan pandanganku dan berupaya menyentuhnya agar aku yakin dia itu nyata. Tapi itu hanya ide konyol yang terus berputar – putar menari riang di dalam benakku. Ide itu bahkan telah membentuk labirin, hingga aku tak kuasa untuk melempar diriku keluar dari sana. Aku tak tahu kapan ide konyol itu akan hilang. Mungkin tak akan pernah hilang, menjadi abadi seraya hati ini masih mengaguminya, Putri DongengKu.

...

 

Suatu sore dimusim semi, matahari telah condong ke barat seolah mengiringi langkah Tom untuk menuju ke sebuah toko buku kecil di sudut kota sebelah utara. Seorang wanita sejak tadi tengah menantinya di depan Toko buku. Senyum wanita itu mulai merekah seraya ia menyadari Tom mulai tampak dari kejauhan berjalan menuju ke arahnya. Setelah mereka berpapasan, sempat terjadi kebisuan, mereka saling pandang sejenak setelah itu si wanita menggerakkan alis mata mengisyaratkan bahwa ada sesuatu di dalam toko yang telah menunggunya. Tom menunjukkan ekspresi binggung.  Tiba – tiba muncul dua anak laki – laki dari dalam toko buku, sambil tertawa – tawa riang mereka berlari menuju Tom, Tom pun tertawa riang menyambut mereka,  anak laki – laki yang paling kecil digendong lalu dikecupinya, sedangkan yang paling besar ia rangkul dengan tangannya yang lain. Mereka semua adalah keluarga kecil yang bahagia. Kebahagian mereka membuat yang lain menatap iri. Selalu begitu setiap harinya. Sore hari,Tom yang baru pulang bekerja selalu mengunjungi istrinya yang menjaga toko buku peninggalan orang tuanya. Anak – anak sepulang sekolah selalu bermain disana, bersama ibunya, di sebuah toko buku kuno kecil, di pojok kota sebelah utara, di seberang halte bus.

...

Waktu menunjukan pukul delapan malam,  di halte bus kala itu sudah sepi, terlebih pada musim dingin seperti ini. Sudah tidak ada orang yang menunggu bus lagi. Jalanan pun sepi. Diseberang jalan, di sebuah toko buku kuno kecil, tampak seorang pak tua bersama anak gadisnya sedang bersiap untuk menutup toko. Ditengah itu, si gadis hanya menatap ke arah halte bus dengan wajah iba. Ayahnya menghampiri si gadis dan bertanya.

“Apa yang sedang kau perhatikan Rosenne ? mengapa kau terus menatap ke arah halte itu?” Tanya sang Ayah.

“Ayah, aku sedang memperhatikan pemuda itu. Ia sudah sejak sore tadi tertidur lelap di Halte. Kau mengenalnya Ayah?”

“Barangkali itu Tom, Tom Delaunger. Ia memang sering menunggu bus di halte seberang sana.”

“Tom delaunger ? apa ia tidak memiliki rumah ? dan bagaimana kau bisa mengenalnya Ayah ?”

“Entahlah, mungkin saja ia memang  tidak memiliki rumah. Ayah kerap kali bertemu dengannya. Ia seniman jalanan yang berbakat,  ia biasa bermain di St. Wishburg. Ayah menyukai pertunjukannya.”

“Huhf, pria malang. Sejak tadi dia tertidur lelap di halte, di udara sedingin ini. Seperti tak mau terbangun, mungkin mimpinya terlalu indah untuk diakhiri.”

“Sudahlah Rosenne, mungkin dia hanya mabuk. Ayo teruskan berkemas, agar kita bisa tiba dirumah lebih awal. Ibumu sudah memasak lasagna tomat yang enak  untuk kita.”

Di halte bus, dimalam hari yang semakin larut, terbaring seorang pria yang tengah bermimpi. Terlalu indah mimpinya hingga Ia takut untuk terjaga dan mengakhiri segalanya. Karena mimpi itu tak akan berlanjut atau datang kembali. Mimpi antara dirinya dan putri dongengnya. Bahkan untuk mimpi yang satu ini, ia harus menunggunya untuk beberapa tahun lamanya.

 

Tamat~

 Oleh : Lia