Tuesday, July 25, 2023

Seperti Biasa

 

    Sepotong senyum merambat masuk bersama deru angin yang menghempas dedauan malam ke dalam kamarku melalui jendela kamar diiringi sinar bulan separuh. Aku mengenalnya dengan sangat jelas, jelas sepotong senyum yang selalu kuingat. Disetiap malam ia selalu datang menghantarkan aku yang mencoba untuk terlelap. Biasanya ia pergi sendiri seraya mata ini terpejam. Ia hilang. Dan manakala aku kembali terjaga, ia tetap hilang. Pernah kala itu mataku dengan sengaja ku pejamkan, sebentar saja, setelah kubuka kembali ia tetap hilang. Itu artinya aku harus terus menatapnya agar dia kekal bersemayam di dinding kamarku. Hanya dengan terjaga aku bisa bertemu dengannya. Sepotong senyum yang aku kenal dengan sangat jelas.

    Sepotong senyum itu hanya mau datang pada malam hari menemuiku yang telah bersiap utnuk tidur hanya kala cuaca cerah. Pada waktu musim penghujan ia tak pernah datang.Pada musim penghujan awan mendung selalu datang dan menutupi bulan hingga cahayanya tak lagi mampu membiaskan sepotong senyum itu. Ia hanya mau datang bersama cahaya bulan. Pernah ku coba ciptakan cahaya bulan dengan menyalakan lampu agak remang yang sinarnya menyorot ke arah dinding tempat sepotong senyum biasa menemuiku.Tapi senyum itu tetap saja tak mau datang. Ia tak sebodoh itu bisa tertipu. Aku yang bodoh. Sepotong senyum itu yang membuatku jadi bodoh. Aku hanya ingin ia datang seperti biasa. Setiap malam. Tak peduli hari ini cerah atau hujan. Tak peduli lampu remang ataukah cahaya bulan. Dia tidak seharusnya datang dan pergi begitu saja. Mungkin mudah untuknya, tapi bagiku. Setelah kesan dan pesan tersirat yang selalu ia tinggalkan disetiap malam perjumpaan kami. Walau hanya sebuah siratan yang sampai saat ini belum mampu kuejawatahkan.

    Malam ini hari cerah, sudah seharusnya ia datang. Seperti biasa, hah syukurlah juga ada cahaya bulan. Tunggu saja sebentar lagi ia akan menyelinap masuk. Ya, seharusnya ia sudah masuk. Apa kali ini ia terlambat datang. Atau ia salah menyelinap masuk ke kamar lain. Tapi mana mungkin. Hanya ia yang aku kenal. Hanya padaku ia datang. Kamar ini spesial. Aku pun istimewa. Mungkin karena itu ia hanya senang berjumpa denganku. Menemani aku hingga aku terlelap. Sepotong senyum itu sepertinya memang ada untukku.

 

    Malam hari dikala sinar bulan mulai benderang, jutaan senyum keluar dari sangkarnya bagaikan burung mereka beterbangan menuju sebuah tempat singgah yang bisa membuat mereka nyaman. Senyum  - senyum itu biasanya menyelinap masuk dari jendela bersama cahaya bulan yang membiaskan wujud mereka. Mereka hanya akan hinggap ke kamar yang belum terisi oleh senyum – senyum lain. Dan mereka akan pergi bila merasa sudah tak diperlukan. Senyum – senyum itu kadang bergantian tempat singgah dengan senyum – senyum yang lain. Dan apabila cuaca tidak cerah. Mereka akan mencari tempat singgah baru yang disinari cahaya bulan. Seberapa jauhpun tempat singgah itu. Akan mereka tempuh. Terkadang senyum itu dapat menjadi mereda lara, tapi juga meninggalkan kecewa manakala senyum tak bisa datang. Datang dengan mengejutkan, dan pergi tanpa salam. Penuh perhatian namun acuh. Indah sekaligus buruk rupa. Senyum selalu mengambarkan pemandangan kontras. Nyata tapi tak bisa tersentuh. Walau sesungguhnya mereka yang dihinggapi senyum itu hanya terbiasa ditemani keberadaannya. Tapi tak mengerti bahwasanya peranan senyum – senyum itu hanya sebatas pemberi nilai estetika dari keindahannya semata. Keindahan rupanya, dan cara kemunculannya. Itulah hakikat senyum.

    Dimalam hari  yang cerah,  dengan cahaya bulan yang menyelinap dari jendela kamar. Seseorang tengah menunggu senyum yang biasa bersemayam di salah satu sisi di dinding kamarnya. Sampai saat ini, senyum yang dinantinya tak kunjung datang. Sampai akhirnya ia jenggah dengan penantiannya itu.

Ini tak seperti biasanya. Walau setiap tanda akan munculnya sepotong senyum sudah ada. Tapi mengapa kali ini prediksiku meleset? Apa senyum itu tak mau lagi hinggap di kamar ini? Lalu kemana ia akan pergi ? kepada siapa ia datang bila malam ini tak ada bersamaku ?

                Si penanti sepotong senyum itu terus saja meracau bertanya – tanya akan alasan sepotong senyum tak ingin  menghampirinya. Tanpa ia sadari di sebuah sisi lain di dinding kamarnya, telah hinggap senyum lain yang sedari tadi tengah menemaninya.Sudah ribuan malam senyum - senyum silih  berganti menemaninya. Dengan muncul di sisi berbeda. Hanya karena sepotong  senyum pada malam sebelumnya datang tepat disaat si penanti menyadarinya, ribuan senyum lain yang pernah hinggap jadi tak berarti. Dan senyum yang datang malam ini, seperti halnya senyum – senyum lain,ia pun  akan hilang seraya si penanti itu terpejam. Sama seperti biasanya.

Oleh : Lia

No comments:

Post a Comment