Sepotong senyum merambat masuk
bersama deru angin yang menghempas dedauan malam ke dalam kamarku melalui
jendela kamar diiringi sinar bulan separuh. Aku mengenalnya dengan sangat
jelas, jelas sepotong senyum yang selalu kuingat. Disetiap malam ia selalu datang
menghantarkan aku yang mencoba untuk terlelap. Biasanya ia pergi sendiri seraya
mata ini terpejam. Ia hilang. Dan manakala aku kembali terjaga, ia tetap
hilang. Pernah kala itu mataku dengan sengaja ku pejamkan, sebentar saja,
setelah kubuka kembali ia tetap hilang. Itu artinya aku harus terus menatapnya
agar dia kekal bersemayam di dinding kamarku. Hanya dengan terjaga aku bisa
bertemu dengannya. Sepotong senyum yang aku kenal dengan sangat jelas.
Sepotong senyum itu hanya mau
datang pada malam hari menemuiku yang telah bersiap utnuk tidur hanya kala
cuaca cerah. Pada waktu musim penghujan ia tak pernah datang.Pada musim
penghujan awan mendung selalu datang dan menutupi bulan hingga cahayanya tak
lagi mampu membiaskan sepotong senyum itu. Ia hanya mau datang bersama cahaya
bulan. Pernah ku coba ciptakan cahaya bulan dengan menyalakan lampu agak remang
yang sinarnya menyorot ke arah dinding tempat sepotong senyum biasa
menemuiku.Tapi senyum itu tetap saja tak mau datang. Ia tak sebodoh itu bisa
tertipu. Aku yang bodoh. Sepotong senyum itu yang membuatku jadi bodoh. Aku
hanya ingin ia datang seperti biasa. Setiap malam. Tak peduli hari ini cerah
atau hujan. Tak peduli lampu remang ataukah cahaya bulan. Dia tidak seharusnya
datang dan pergi begitu saja. Mungkin mudah untuknya, tapi bagiku. Setelah
kesan dan pesan tersirat yang selalu ia tinggalkan disetiap malam perjumpaan
kami. Walau hanya sebuah siratan yang sampai saat ini belum mampu
kuejawatahkan.
Malam ini hari cerah, sudah
seharusnya ia datang. Seperti biasa, hah syukurlah juga ada cahaya bulan.
Tunggu saja sebentar lagi ia akan menyelinap masuk. Ya, seharusnya ia sudah
masuk. Apa kali ini ia terlambat datang. Atau ia salah menyelinap masuk ke
kamar lain. Tapi mana mungkin. Hanya ia yang aku kenal. Hanya padaku ia datang.
Kamar ini spesial. Aku pun istimewa. Mungkin karena itu ia hanya senang
berjumpa denganku. Menemani aku hingga aku terlelap. Sepotong senyum itu
sepertinya memang ada untukku.
Malam hari dikala sinar bulan mulai benderang,
jutaan senyum keluar dari sangkarnya bagaikan burung mereka beterbangan menuju
sebuah tempat singgah yang bisa membuat mereka nyaman. Senyum - senyum
itu biasanya menyelinap masuk dari jendela bersama cahaya bulan yang membiaskan
wujud mereka. Mereka hanya akan hinggap ke kamar yang belum terisi oleh senyum
– senyum lain. Dan mereka akan pergi bila merasa sudah tak diperlukan. Senyum –
senyum itu kadang bergantian tempat singgah dengan senyum – senyum yang lain.
Dan apabila cuaca tidak cerah. Mereka akan mencari tempat singgah baru yang
disinari cahaya bulan. Seberapa jauhpun tempat singgah itu. Akan mereka tempuh.
Terkadang senyum itu dapat menjadi mereda lara, tapi juga meninggalkan kecewa
manakala senyum tak bisa datang. Datang dengan mengejutkan, dan pergi tanpa
salam. Penuh perhatian namun acuh. Indah sekaligus buruk rupa. Senyum selalu
mengambarkan pemandangan kontras. Nyata tapi tak bisa tersentuh. Walau
sesungguhnya mereka yang dihinggapi senyum itu hanya terbiasa ditemani
keberadaannya. Tapi tak mengerti bahwasanya peranan senyum – senyum itu hanya
sebatas pemberi nilai estetika dari keindahannya semata. Keindahan rupanya, dan
cara kemunculannya. Itulah hakikat senyum.
Dimalam hari yang cerah, dengan
cahaya bulan yang menyelinap dari jendela kamar. Seseorang tengah menunggu
senyum yang biasa bersemayam di salah satu sisi di dinding kamarnya. Sampai
saat ini, senyum yang dinantinya tak kunjung datang. Sampai akhirnya ia jenggah
dengan penantiannya itu.
Ini tak seperti biasanya. Walau
setiap tanda akan munculnya sepotong senyum sudah ada. Tapi mengapa kali ini
prediksiku meleset? Apa senyum itu tak mau lagi hinggap di kamar ini? Lalu
kemana ia akan pergi ? kepada siapa ia datang bila malam ini tak ada bersamaku
?
Si penanti
sepotong senyum itu terus saja meracau bertanya – tanya akan alasan sepotong
senyum tak ingin menghampirinya. Tanpa ia sadari di sebuah sisi lain di
dinding kamarnya, telah hinggap senyum lain yang sedari tadi tengah
menemaninya.Sudah ribuan malam senyum - senyum silih berganti
menemaninya. Dengan muncul di sisi berbeda. Hanya karena sepotong senyum
pada malam sebelumnya datang tepat disaat si penanti menyadarinya, ribuan
senyum lain yang pernah hinggap jadi tak berarti. Dan senyum yang datang malam
ini, seperti halnya senyum – senyum lain,ia pun akan hilang seraya si
penanti itu terpejam. Sama seperti biasanya.
Oleh : Lia
No comments:
Post a Comment