Di sudut kota sebelah utara, di sebuah toko
buku kuno kecil di seberang halte bus itu aku sering berjumpa dengannya,
bukan perjumpaan – perjumpaan antara sepasang kekasih yang saling mencintai.
Tapi aku hanya menatapnya dari kejauhan, melihatnya yang sedang menata buku,
dan membersihkan toko sebelum buka, hanya dari kejauhan. Entah kenapa sampai
saat ini aku belum bisa memberanikan diri untuk menghampirinya dan berkenalan,
setidaknya kami bisa mengobrol setelah itu. Hanya mengobrol, bahkan itu seperti
mimpi. Dirinya seperti putri dalam dongeng yang ada di benakku. Hingga aku tak
mau melewatkan kisahnya. Andaikan ini mimpi, aku tak mau terbangun. Tapi
sayang, ini kenyataan dan aku hanya mahir dalam berkhayal. Kenyataan di dunia ini
bukan milikku. Aku hanya mendapat peran sebagai pemanis di panggung sandiwara
maha megah ini. Sedangkan putri itu, putri dongengku, tentu saja pemeran
utamanya. Tugasku hanya menjaga keselarasan cerita. Aku tak mau jadi penghancur
alur cerita dengan bersamanya. Putri itu selayaknya juga mendapatkan pangeran
tampan yang sebagai pemeran utama juga. Yang sebanding dengannya. Seorang yang
telah digariskan Tuhan untuk menjaganya.Sedangkan aku, aku hanya sebagai
pengagumnya. Itu perbedaan yang cukup signifikan bukan?
Semua itu, aku dan khayalanku akan putri
dongeng itu bermula beberapa tahun yang lalu.Tentu saja ditempat yang sama
dimana aku sering memandanginya seperti sekarang ini. Di sudut kota sebelah
utara. Saat itu aku sedang menunggu bis untuk membawaku ke tempatku
bekerja di St. Wishburg. Kala itu musim dingin, saat itu aku hanya
terdiam menoreh ke segala arah. Aku bosan dengan pekerjaan satu ini, menunggu.
Sampai mataku menangkap pemandangan yang menakjubkan. Membuatku enggan berkedip
walau untuk sedetik. Di seberang jalan yang tepat dari halte bus tempatku
menunggu, di sebuah toko buku kuno kecil, ada seorang gadis manis sedang
merapikan buku – buku dan membersihkan toko. Senyum yang menawan, Rambutnya
berkilau. Seandainya ia juga melihatku. Tapi tak apa. Sejak saat itu aku senang
menunggu. Bahkan menunggu kini jadi hobiku. Aku tak lagi menggerutu saat
mengunggu. Entah hal gila apa ini. Tapi aku selalu menikmatinya. Sepasang mata
penuh takjub yang tak pernah bertemu dengan matanya, aku seperti menjadi halte
bus yang bisu dan tak pernah ia pedulikan meski nyata ada di hadapan.
Pernah pada suatu hari aku mencoba untuk
berjalan menyebrang untuk menghampirinya. Aku mau berpura – pura membeli buku,
meski aku tak suka membaca. Atau hanya sekedar memastikan pandanganku dan
berupaya menyentuhnya agar aku yakin dia itu nyata. Tapi itu hanya ide konyol
yang terus berputar – putar menari riang di dalam benakku. Ide itu bahkan telah
membentuk labirin, hingga aku tak kuasa untuk melempar diriku keluar dari sana.
Aku tak tahu kapan ide konyol itu akan hilang. Mungkin tak akan pernah hilang,
menjadi abadi seraya hati ini masih mengaguminya, Putri DongengKu.
...
Suatu sore dimusim semi, matahari telah
condong ke barat seolah mengiringi langkah Tom untuk menuju ke sebuah toko buku
kecil di sudut kota sebelah utara. Seorang wanita sejak tadi tengah menantinya
di depan Toko buku. Senyum wanita itu mulai merekah seraya ia menyadari Tom
mulai tampak dari kejauhan berjalan menuju ke arahnya. Setelah mereka
berpapasan, sempat terjadi kebisuan, mereka saling pandang sejenak setelah itu
si wanita menggerakkan alis mata mengisyaratkan bahwa ada sesuatu di dalam toko
yang telah menunggunya. Tom menunjukkan ekspresi binggung. Tiba – tiba
muncul dua anak laki – laki dari dalam toko buku, sambil tertawa – tawa riang
mereka berlari menuju Tom, Tom pun tertawa riang menyambut mereka, anak
laki – laki yang paling kecil digendong lalu dikecupinya, sedangkan yang paling
besar ia rangkul dengan tangannya yang lain. Mereka semua adalah keluarga kecil
yang bahagia. Kebahagian mereka membuat yang lain menatap iri. Selalu begitu
setiap harinya. Sore hari,Tom yang baru pulang bekerja selalu mengunjungi
istrinya yang menjaga toko buku peninggalan orang tuanya. Anak – anak sepulang
sekolah selalu bermain disana, bersama ibunya, di sebuah toko buku kuno kecil,
di pojok kota sebelah utara, di seberang halte bus.
...
Waktu menunjukan pukul delapan malam,
di halte bus kala itu sudah sepi, terlebih pada musim dingin seperti ini.
Sudah tidak ada orang yang menunggu bus lagi. Jalanan pun sepi. Diseberang
jalan, di sebuah toko buku kuno kecil, tampak seorang pak tua bersama anak
gadisnya sedang bersiap untuk menutup toko. Ditengah itu, si gadis hanya
menatap ke arah halte bus dengan wajah iba. Ayahnya menghampiri si gadis dan
bertanya.
“Apa yang sedang kau perhatikan Rosenne ? mengapa kau
terus menatap ke arah halte itu?” Tanya sang Ayah.
“Ayah, aku sedang memperhatikan pemuda itu. Ia sudah
sejak sore tadi tertidur lelap di Halte. Kau mengenalnya Ayah?”
“Barangkali itu Tom, Tom Delaunger. Ia memang sering
menunggu bus di halte seberang sana.”
“Tom delaunger ? apa ia tidak memiliki rumah ? dan
bagaimana kau bisa mengenalnya Ayah ?”
“Entahlah, mungkin saja ia memang tidak memiliki
rumah. Ayah kerap kali bertemu dengannya. Ia seniman jalanan yang
berbakat, ia biasa bermain di St. Wishburg. Ayah menyukai
pertunjukannya.”
“Huhf, pria malang. Sejak tadi dia tertidur lelap di
halte, di udara sedingin ini. Seperti tak mau terbangun, mungkin mimpinya
terlalu indah untuk diakhiri.”
“Sudahlah Rosenne, mungkin dia hanya mabuk. Ayo teruskan
berkemas, agar kita bisa tiba dirumah lebih awal. Ibumu sudah memasak lasagna
tomat yang enak untuk kita.”
Di halte bus, dimalam hari yang semakin
larut, terbaring seorang pria yang tengah bermimpi. Terlalu indah mimpinya
hingga Ia takut untuk terjaga dan mengakhiri segalanya. Karena mimpi itu tak
akan berlanjut atau datang kembali. Mimpi antara dirinya dan putri dongengnya.
Bahkan untuk mimpi yang satu ini, ia harus menunggunya untuk beberapa tahun
lamanya.
Tamat~
No comments:
Post a Comment