Tuesday, July 25, 2023

Putri Dongeng (Cerpen)

 

Di sudut kota sebelah utara, di sebuah toko buku kuno kecil  di seberang halte bus itu aku sering berjumpa dengannya, bukan perjumpaan – perjumpaan antara sepasang kekasih yang saling mencintai. Tapi aku hanya menatapnya dari kejauhan, melihatnya yang sedang menata buku, dan membersihkan toko sebelum buka, hanya dari kejauhan. Entah kenapa sampai saat ini aku belum bisa memberanikan diri untuk menghampirinya dan berkenalan, setidaknya kami bisa mengobrol setelah itu. Hanya mengobrol, bahkan itu seperti mimpi. Dirinya seperti putri dalam dongeng yang ada di benakku. Hingga aku tak mau melewatkan kisahnya. Andaikan ini mimpi, aku tak mau terbangun. Tapi sayang, ini kenyataan dan aku hanya mahir dalam berkhayal. Kenyataan di dunia ini bukan milikku. Aku hanya mendapat peran sebagai pemanis di panggung sandiwara maha megah ini. Sedangkan putri itu, putri dongengku, tentu saja pemeran utamanya. Tugasku hanya menjaga keselarasan cerita. Aku tak mau jadi penghancur alur cerita dengan bersamanya. Putri itu selayaknya juga mendapatkan pangeran tampan yang sebagai pemeran utama juga. Yang sebanding dengannya. Seorang yang telah digariskan Tuhan untuk menjaganya.Sedangkan  aku, aku hanya sebagai pengagumnya. Itu perbedaan yang cukup signifikan bukan?

Semua itu, aku dan khayalanku akan putri dongeng itu bermula beberapa tahun yang lalu.Tentu saja ditempat yang sama dimana aku sering memandanginya seperti sekarang ini. Di sudut kota sebelah utara. Saat itu aku sedang menunggu bis untuk membawaku ke tempatku  bekerja di St. Wishburg. Kala itu musim dingin, saat itu aku hanya terdiam menoreh ke segala arah. Aku bosan dengan pekerjaan satu ini, menunggu. Sampai mataku menangkap pemandangan yang menakjubkan. Membuatku enggan berkedip walau untuk sedetik. Di seberang jalan yang tepat dari halte bus tempatku menunggu, di sebuah toko buku kuno kecil, ada seorang gadis manis sedang merapikan buku – buku dan membersihkan toko. Senyum yang menawan, Rambutnya berkilau. Seandainya ia juga melihatku. Tapi tak apa. Sejak saat itu aku senang menunggu. Bahkan menunggu kini jadi hobiku. Aku tak lagi menggerutu saat mengunggu. Entah hal gila apa ini. Tapi aku selalu menikmatinya. Sepasang mata penuh takjub yang tak pernah bertemu dengan matanya, aku seperti menjadi halte bus yang bisu dan tak pernah ia pedulikan meski nyata ada di hadapan.

Pernah pada suatu hari aku mencoba untuk berjalan menyebrang untuk menghampirinya. Aku mau berpura – pura membeli buku, meski aku tak suka membaca. Atau hanya sekedar memastikan pandanganku dan berupaya menyentuhnya agar aku yakin dia itu nyata. Tapi itu hanya ide konyol yang terus berputar – putar menari riang di dalam benakku. Ide itu bahkan telah membentuk labirin, hingga aku tak kuasa untuk melempar diriku keluar dari sana. Aku tak tahu kapan ide konyol itu akan hilang. Mungkin tak akan pernah hilang, menjadi abadi seraya hati ini masih mengaguminya, Putri DongengKu.

...

 

Suatu sore dimusim semi, matahari telah condong ke barat seolah mengiringi langkah Tom untuk menuju ke sebuah toko buku kecil di sudut kota sebelah utara. Seorang wanita sejak tadi tengah menantinya di depan Toko buku. Senyum wanita itu mulai merekah seraya ia menyadari Tom mulai tampak dari kejauhan berjalan menuju ke arahnya. Setelah mereka berpapasan, sempat terjadi kebisuan, mereka saling pandang sejenak setelah itu si wanita menggerakkan alis mata mengisyaratkan bahwa ada sesuatu di dalam toko yang telah menunggunya. Tom menunjukkan ekspresi binggung.  Tiba – tiba muncul dua anak laki – laki dari dalam toko buku, sambil tertawa – tawa riang mereka berlari menuju Tom, Tom pun tertawa riang menyambut mereka,  anak laki – laki yang paling kecil digendong lalu dikecupinya, sedangkan yang paling besar ia rangkul dengan tangannya yang lain. Mereka semua adalah keluarga kecil yang bahagia. Kebahagian mereka membuat yang lain menatap iri. Selalu begitu setiap harinya. Sore hari,Tom yang baru pulang bekerja selalu mengunjungi istrinya yang menjaga toko buku peninggalan orang tuanya. Anak – anak sepulang sekolah selalu bermain disana, bersama ibunya, di sebuah toko buku kuno kecil, di pojok kota sebelah utara, di seberang halte bus.

...

Waktu menunjukan pukul delapan malam,  di halte bus kala itu sudah sepi, terlebih pada musim dingin seperti ini. Sudah tidak ada orang yang menunggu bus lagi. Jalanan pun sepi. Diseberang jalan, di sebuah toko buku kuno kecil, tampak seorang pak tua bersama anak gadisnya sedang bersiap untuk menutup toko. Ditengah itu, si gadis hanya menatap ke arah halte bus dengan wajah iba. Ayahnya menghampiri si gadis dan bertanya.

“Apa yang sedang kau perhatikan Rosenne ? mengapa kau terus menatap ke arah halte itu?” Tanya sang Ayah.

“Ayah, aku sedang memperhatikan pemuda itu. Ia sudah sejak sore tadi tertidur lelap di Halte. Kau mengenalnya Ayah?”

“Barangkali itu Tom, Tom Delaunger. Ia memang sering menunggu bus di halte seberang sana.”

“Tom delaunger ? apa ia tidak memiliki rumah ? dan bagaimana kau bisa mengenalnya Ayah ?”

“Entahlah, mungkin saja ia memang  tidak memiliki rumah. Ayah kerap kali bertemu dengannya. Ia seniman jalanan yang berbakat,  ia biasa bermain di St. Wishburg. Ayah menyukai pertunjukannya.”

“Huhf, pria malang. Sejak tadi dia tertidur lelap di halte, di udara sedingin ini. Seperti tak mau terbangun, mungkin mimpinya terlalu indah untuk diakhiri.”

“Sudahlah Rosenne, mungkin dia hanya mabuk. Ayo teruskan berkemas, agar kita bisa tiba dirumah lebih awal. Ibumu sudah memasak lasagna tomat yang enak  untuk kita.”

Di halte bus, dimalam hari yang semakin larut, terbaring seorang pria yang tengah bermimpi. Terlalu indah mimpinya hingga Ia takut untuk terjaga dan mengakhiri segalanya. Karena mimpi itu tak akan berlanjut atau datang kembali. Mimpi antara dirinya dan putri dongengnya. Bahkan untuk mimpi yang satu ini, ia harus menunggunya untuk beberapa tahun lamanya.

 

Tamat~

 Oleh : Lia

No comments:

Post a Comment