Matanya terperangah menghadang temaram
menyusuri ladang ilalang. Ada pamandangan bagus yang mengusik batinnya,
mengundang hasrat untuk menatapnya lama – lama. Indah memang, terang bulan ketika
purnama cahayanya membiaskan gambar siluet dari seekor kijang liar di atas
bukit. Kala malam di sebuah hutan. Seekor singa jantan yang masih kelaparan
lebih memilih untuk pulang, meski ia sadar kalau dengan hanya memandang
hasratnya takkan terpuaskan. Tapi, pemandangan
indah tadi sudah cukup baginya, cukup untuk malam ini.
***
Seekor singa jantan
dengan badan yang kurus, sudah lima bulan ia tidak memangsa sejak pertama kali
dinobatkan menjadi raja. Gaya hidupnya kini berubah. Ia bukan lagi pemangsa.
Kecintaan singa pada rakyatnya membuat ia lebih memilih untuk menjadi vegetarian. Singa makan sayur menurutnya lebih
terhormat daripada harus memakan rakyatnya.Tapi hal itu pula yang menjadi bumerang
baginya. Kesehatannya lambat laun kian menurun, kini ia menjadi sakit –sakitan.
Tidak kuat lagi berlari, bahkan mengaumpun layaknya kucing betina yang sedang marah.Tak
ada lagi yang bisa diandalkan,ia pun kini tak bisa mengejar musuh, apalagi melindungi
hutan. Yang ada hanya Sang Singa Raja Hutan pesakitan, dan kini suasana hutan
kian mencekam karena tengah diteror serangan anjing – anjing liar.
“Kau lihat gajah, gajah itu besar,
bisa melindungi apa saja di daratan. Kau lihat buaya, dia bisa menjaga binatang
– binatang lain di sekitar rawa. Belum lagi harimau, ular, dan lainnya. Tanpa harus
mengandalkan aku, sebenarnya kalian bisa hidup tentram. Sudah terlalu banyak
jagoan di hutan ini. Kenapa harus bingung kalau kehilangan satu ?”
“Sudahlah, jangan berkilah. Aku lihat
tadi malam bagaimana kau terperangah menatapi siluet seekor kijang di bukit. Kau
tak mengalihkan pandangan barang sedetik, air liurmu menetes –netes di tanah. Kau
tahu kau sangat menginginkannya, tapi lantas kau lebih memilih mengunyah rumput
basah didepanmu daripada memburunya. Setelah merasa cukup, kau lantas pulang. Perutmu
saja yang kenyang, tapi hasratmu sebagai pemburu kelaparan dahsyat. Sampai kapan
kau akan bertahan dengan kebiasaanmu yang memuakkan itu? ”
“Sampai kapan ? selama aku masih dipercayakan
oleh rakyatku untuk mengemban tugas sebagai raja mereka. Aku akan terus seperti
ini. Aku tidak mungkin memakan mereka yang seharusnya aku lindungi. Mereka memilihku
karena butuh perlindungan. Mereka sudah cukup lemah.”
“Tapi apa kau bisa melindungi mereka
dengan keadaanmu sekarang. Nantinya kau malah mati konyol. Singa munafik yang
mati karena kurang gizi. Hah, amit – amit kalau aku mendengar ada berita seperti
itu. Apalagi kalau tahu yang mati itu adikku sendiri. Lebih baik aku saja yang
mati, terkena panah nyasar. Itu jauh lebih terhormat.”
”Dalam sebuah sistem butuh partisipasi
dari setiap individu. Tapi hanya ada 3 hal yang akan terjadi setelah kita tidak
berpartisipasi lagi di dalam sistem itu. Sistem itu akan memburuk, biasa –
biasa saja, atau justru menjadi lebih baik karena ketidaksertaan kita didalamnya.
Jadi janganlah terus mengait – ngaitkan kebiasaanku sekarang dengan serangan
anjing liar itu. Sistem pertahanan hutan harus tetap berjalan, meski bukan aku
lagi yang menjadi punggawanya.”
“Kau harus kembali seperti dulu
Adikku, simpan keras kepalamu. Jangan Naif. Aku tahu disini banyak sekali
jagoan. Tapi mereka hanya serdadu - serdadu yang butuh kau arahkan. Jika tidak
mereka hanya akan membabi buta tak keruan. Menyerang seenaknya ke segala arah,
lalu kalah. Kau rela melihat rakyatmu, serdadu –serdadumu itu, yang kau bilang
jagoan- jagoan itu, mati satu per satu ? Pikirkanlah. Dan selagi kau berpikir,
aku punya tamu untukmu. Mungkin kehadirannya bisa membuatmu melunak. Sedari
tadi ia menunggu diluar. Kita sudahi saja percakapan ini.”
“Siapa tamu itu ?”
“Nanti juga kau tahu, akan aku
panggilkan. Sambil aku menunggu kalian saja di luar.”
Seekor kijang
jantan nan gagah berjalan memasuki istana. Istana Hutan ini bukan merupakan
bangunan megah yang gemerlap. Istana di sini hanya terbuat dari susunan ranting
sebagai pagarnya, jerami kering sebagai atapnya, beralaskan tanah, berdinding
bambu yang dipasang rapat, dan singgasana dari sisa batang pohon tua yang
tumbang. Sang Raja rupanya mengenali tamunya ini, tamu yang lekuk tubuhnya
menyerupai siluet yang semalam dipandanginya di bukit. Si Kijang menghadap kepada
Raja Hutan, Singa itu menahan hasratnya, ia lapar memang.
“Jangan, jangan… Tahan,tahan… Jangan
lihat itu, itu hanya tipuan. Dibalik tubuh yang sehat dan tanduk yang gagah itu
tersimpan kelemahan. Apa kau tega melumatnya, dia itu rakyatmu.” Dalam hatinya Singa
bergejolak, tapi lantas dengan sekejap ia mampu menguasai emosinya dan berkata.
“Ada apa gerangan kau menghadapku
Kijang ?”
“Sebelumnya hamba mohon maaf Paduka,
atas kedatangan hamba yang mungkin mengejutkan Paduka. Hamba menghadap, dengan
niat tulus hamba untuk ikut menjaga keamanan dan ketentraman hutan ini.” Jawab
Kijang Jantan Itu dengan kepala yang menunduk.
“Apa yang kau maksudkan, Kijang? aku
tidak mengerti, aku tidak pernah memanggilmu untuk menghadapku untuk kumintakan
bantuan. Sadarkah kalau kau hanya seekor kijang biasa, kau bukan prajurit. Bahkan
kau pun tidak bisa melindungi diri dari pemangsa lain.”
“Mohon maaf Paduka, tapi hamba memang
tidak ingin menjadi seorang prajurit yang mengabdikan diri hamba untuk berperang.”
“Lalu dengan cara apa kau akan
melaksanakan niat baikmu itu ?”
“Maafkan hamba atas kelancangan
hamba paduka, tapi hamba terlalu menyadari bahwa hamba ini hanya binatang lemah.
tapi ijinkan hamba berpartisipasi dengan cara hamba sendiri . Yang pastinya ini
akan berhasil dan dapat menyelamatkan hutan
ini. Untuk itu hamba dengan suka cita merelakan diri untuk dijadikan santapan makan
malam bagi Paduka Raja.”
“Picik sekali pikiran kakakku
itu. Dia lakukan segala cara agar aku bisa kembali sehat. Tidak – tidak. Kau
pergi saja. Aku tidak mau mengorbankan salah satu dari rakyatku untuk
kepuasanku sendiri.”
“Ini bukan masalah picik atau
cerdik, kepuasan sendiri atau pengorbanan. Kau lihat, aku sengaja mendatangkan
kijang jantan yang kau perhatikan semalam, yang sangat kau inginkan. Untuk
kebaikan semua rakyatmu, ia saja rela mengorbankan dirinya untuk jadi santapan
makan malammu. Kenapa kau tak rela sedikitpun untuk mengorbankan keras kepalamu
itu. Aku tak habis pikir.” Ujar Sang Kakak yang tiba – tiba menyelinap masuk.
Sang raja terdiam, semua yang ada
diruangan membisu. Suasana amat hening, semua seakan sengaja membungkam diri untuk
memberikan ketenangan Sang Raja yang tengah berpikir. Tak lama, sang raja
menghembuskan nafas kencang, dan keputusannya pun diumumkan.
“Hmm, Baiklah jika itu mau
kalian. Siapkan aku kijang lain yang kurus, penyakitan dan hampir mati. Jangan
yang ini. Aku tak mau yang ini. Singkirkan dia dari sini sebelum aku berubah
pikiran. Siapkan makan malamku. Kita berpesta malam ini.”
***
Dimalam yang
cerah penuh cahaya bulan. Telah tersaji hidangan makan malam sesuai permintaan
Raja. Kijang kurus, penyakitan, dan hampir mati. Malam ini hutan berpesta,
Rakyat dari segala penjuru tengah berkumpul untuk menyaksikan momen berharga
ini. Ketika Kakak dari Sang Raja selesai
memberikan sambutannya. Dengan lahap Sang Singa Raja Hutan itu menikmati
santapan makan malamnya. Suasana pecah, gemuruh sorakan rakyat hutan menggema. Semuanya
merayakan hari kembalinya raja mereka sebagai Singa. Singa itu berlumuran darah
di wajah dan cakarnya, sementara kijang hanya terbaring tak bernyawa dengan tubuhnya
yang terkoyak .Singa mengaum kembali dengan auman yang lantang, jantan dan terdengar
lebih tangguh.
Sudah menjadi hukum
alam, Singa yang terlahir untuk menjadi yang kuat dan melindungi yang lemah, selemah
– lemahnya, ia harus dikembalikan kepada kodratnya. Begitu juga dengan kodrat
kijang itu. Biarlah setiap mereka berpartisipasi sesuai kemampuannya sendiri.
Entah apapun hasil dari peran mereka nanti, akankah keadaan kian memburuk, biasa saja, atau
bahkan membaik.
The
End
Oleh : Lia
No comments:
Post a Comment