Tuesday, July 25, 2023
Bunga Hari Kamis (Cerpen Misteri)
Seperti Biasa
Sepotong senyum merambat masuk
bersama deru angin yang menghempas dedauan malam ke dalam kamarku melalui
jendela kamar diiringi sinar bulan separuh. Aku mengenalnya dengan sangat
jelas, jelas sepotong senyum yang selalu kuingat. Disetiap malam ia selalu datang
menghantarkan aku yang mencoba untuk terlelap. Biasanya ia pergi sendiri seraya
mata ini terpejam. Ia hilang. Dan manakala aku kembali terjaga, ia tetap
hilang. Pernah kala itu mataku dengan sengaja ku pejamkan, sebentar saja,
setelah kubuka kembali ia tetap hilang. Itu artinya aku harus terus menatapnya
agar dia kekal bersemayam di dinding kamarku. Hanya dengan terjaga aku bisa
bertemu dengannya. Sepotong senyum yang aku kenal dengan sangat jelas.
Sepotong senyum itu hanya mau
datang pada malam hari menemuiku yang telah bersiap utnuk tidur hanya kala
cuaca cerah. Pada waktu musim penghujan ia tak pernah datang.Pada musim
penghujan awan mendung selalu datang dan menutupi bulan hingga cahayanya tak
lagi mampu membiaskan sepotong senyum itu. Ia hanya mau datang bersama cahaya
bulan. Pernah ku coba ciptakan cahaya bulan dengan menyalakan lampu agak remang
yang sinarnya menyorot ke arah dinding tempat sepotong senyum biasa
menemuiku.Tapi senyum itu tetap saja tak mau datang. Ia tak sebodoh itu bisa
tertipu. Aku yang bodoh. Sepotong senyum itu yang membuatku jadi bodoh. Aku
hanya ingin ia datang seperti biasa. Setiap malam. Tak peduli hari ini cerah
atau hujan. Tak peduli lampu remang ataukah cahaya bulan. Dia tidak seharusnya
datang dan pergi begitu saja. Mungkin mudah untuknya, tapi bagiku. Setelah
kesan dan pesan tersirat yang selalu ia tinggalkan disetiap malam perjumpaan
kami. Walau hanya sebuah siratan yang sampai saat ini belum mampu
kuejawatahkan.
Malam ini hari cerah, sudah
seharusnya ia datang. Seperti biasa, hah syukurlah juga ada cahaya bulan.
Tunggu saja sebentar lagi ia akan menyelinap masuk. Ya, seharusnya ia sudah
masuk. Apa kali ini ia terlambat datang. Atau ia salah menyelinap masuk ke
kamar lain. Tapi mana mungkin. Hanya ia yang aku kenal. Hanya padaku ia datang.
Kamar ini spesial. Aku pun istimewa. Mungkin karena itu ia hanya senang
berjumpa denganku. Menemani aku hingga aku terlelap. Sepotong senyum itu
sepertinya memang ada untukku.
Malam hari dikala sinar bulan mulai benderang,
jutaan senyum keluar dari sangkarnya bagaikan burung mereka beterbangan menuju
sebuah tempat singgah yang bisa membuat mereka nyaman. Senyum - senyum
itu biasanya menyelinap masuk dari jendela bersama cahaya bulan yang membiaskan
wujud mereka. Mereka hanya akan hinggap ke kamar yang belum terisi oleh senyum
– senyum lain. Dan mereka akan pergi bila merasa sudah tak diperlukan. Senyum –
senyum itu kadang bergantian tempat singgah dengan senyum – senyum yang lain.
Dan apabila cuaca tidak cerah. Mereka akan mencari tempat singgah baru yang
disinari cahaya bulan. Seberapa jauhpun tempat singgah itu. Akan mereka tempuh.
Terkadang senyum itu dapat menjadi mereda lara, tapi juga meninggalkan kecewa
manakala senyum tak bisa datang. Datang dengan mengejutkan, dan pergi tanpa
salam. Penuh perhatian namun acuh. Indah sekaligus buruk rupa. Senyum selalu
mengambarkan pemandangan kontras. Nyata tapi tak bisa tersentuh. Walau
sesungguhnya mereka yang dihinggapi senyum itu hanya terbiasa ditemani
keberadaannya. Tapi tak mengerti bahwasanya peranan senyum – senyum itu hanya
sebatas pemberi nilai estetika dari keindahannya semata. Keindahan rupanya, dan
cara kemunculannya. Itulah hakikat senyum.
Dimalam hari yang cerah, dengan
cahaya bulan yang menyelinap dari jendela kamar. Seseorang tengah menunggu
senyum yang biasa bersemayam di salah satu sisi di dinding kamarnya. Sampai
saat ini, senyum yang dinantinya tak kunjung datang. Sampai akhirnya ia jenggah
dengan penantiannya itu.
Ini tak seperti biasanya. Walau
setiap tanda akan munculnya sepotong senyum sudah ada. Tapi mengapa kali ini
prediksiku meleset? Apa senyum itu tak mau lagi hinggap di kamar ini? Lalu
kemana ia akan pergi ? kepada siapa ia datang bila malam ini tak ada bersamaku
?
Si penanti
sepotong senyum itu terus saja meracau bertanya – tanya akan alasan sepotong
senyum tak ingin menghampirinya. Tanpa ia sadari di sebuah sisi lain di
dinding kamarnya, telah hinggap senyum lain yang sedari tadi tengah
menemaninya.Sudah ribuan malam senyum - senyum silih berganti
menemaninya. Dengan muncul di sisi berbeda. Hanya karena sepotong senyum
pada malam sebelumnya datang tepat disaat si penanti menyadarinya, ribuan
senyum lain yang pernah hinggap jadi tak berarti. Dan senyum yang datang malam
ini, seperti halnya senyum – senyum lain,ia pun akan hilang seraya si
penanti itu terpejam. Sama seperti biasanya.
Oleh : Lia
Gelap (Cerpen)
Ada yang salah
dengan hari ini, entah kenapa malam kian terasa makin panjang. Jatah badan
untuk beristirahat bertambah, ada beberapa jam lagi untuk terlelap kembali.
Tapi Anwar yakin memang ada yang salah dengan malam ini. Logikanya pada saat
bumi berputar akan ada bagian dunia yang terjadi siang dan bagian yang lain
akan terjadi malam. Tapi kenapa dibagian dunia tempat anwar bernaung malamnya
diperpanjang. Apa disana juga siangnya
bertambah lama ?
“Kini aku baru
sadar kenapa di negara timur tengah sana banyak sekali gurun. Ya, mungkin
memang begitu, karena siangnya terlalu lama. Untuk itu kita disini merasakan
malam yang agak panjang. Bukan begitu Yat ?” Tanya anwar kepada sahabatnya
Dayat yang memang sedang terbaring disebelahnya, Dayat menemani Anwar
menghabiskan malamnya yang terasa amat panjang.
Dayat mengangguk
saja, walau sepertinya percuma karena dengan malam yang bertambah panjang untuk
anwar dia tidak bisa melihat rupa temannya itu.
“Kau setuju Yat
? Mengangguklah jika iya.” Anwar agak marah karena Dayat tidak merespon.
“Iya aku setuju,
dan juga sudah mengangguk. Tapi apa kau bisa liat aku mengganguk ? Kau bilang
malam ini gelap bukan ?” Kata Dayat kesal.
“Oh iya, benar
juga ya. Payah betul. Sudah malam panjang begini, ditambah juga mati lampu. Aku
bisa liat apa ? Aku seperti bicara sendiri. Padahal ada kau ya ?”
“Sudahlah jangan
meracau terus. Kalau memang masih mati lampu, tidur saja.”
“Tidur atau
sadar tidak ada beda Yat. Sama – sama Gelap, Mata tertutup pasti gelap, mata
terbuka juga masih gelap. Bedanya kalau aku tidur aku bermimpi ,kalau aku sadar
aku menghayal. Ah, hidup - hidup… kenapa pilihannya hanya dua ?”
“Yang kau mau
dikasih berapa pilihan ?”
“Aku hanya mau
seperti dulu, bekerja di siang hari. Terang. Aku rindu terang. Dan nyalakan
lampu untukku pada malam hari. Agar aku tak kegelapan.”
“Kau ini maunya
apa ? kau mengejek ya ? sudah jangan bicara lagi kalau malam semakin panjang
atau juga mati lampu. Malam tetap seperti biasa war. Siang juga seperti biasa.
Terimalah, kau kini buta. Jangan bertindak seolah – olah kau tak tahu apa –
apa. Tabah sajalah. Terima sajalah nasibmu war, aku tahu pasti berat. Tapi
terimalah saja.”
“Dayat, teganya
kau bicara seperti itu. Aku tidak akan selamanya begini yat, Aku tidak buta
yat. Aku hanya terjebak dalam keadaan yang tidak memungkinkanku untuk melihat.
Bukan aku yang buta, hanya dunia saja yang menjadi gelap. Tidak ada sinar yang
mampu tertangkap oleh mataku. Mungkin memang malam bertambah panjang, dan lampu
pun sedang dimatikan. Aku sadar betul Dayat, tapi apa salahnya aku berharap
semoga Tuhan menyalakan lampunya lagi untukku. Menambahkan pilihan hidup selain
mimpi atau khayalan. Dayat, hanya dengan cara ini aku mencoba tabah. Kalau kau
pikir aku tak waras, ya biarlah. Minimal aku bukan makhluk rongsok yang tak
bernyawa lagi hanya karena kebutaan ini.”
“Tapi kalau
waktu itu aku berhati – hati berkendara, pasti kau tidak akan begitu. Dan aku
pun tidak akan pula begini.”
“Sudahlah Yat,
tabahlah seperti apa yang kau suruh padaku.”
Didalam ruang
rawat inap kelas tiga, terbaring di dua tempat tidur pasien yang berdekatan dua
orang sahabat korban kecelakaan dua hari yang lalu. Seorang diantaranya
terbaring dengan perban yang melingkari matanya dan seorang yang lain terbaring
dengan hanya memiliki satu kaki, satu kaki miliknya yang lain telah diamputasi
siang tadi karena luka yang membusuk. Keduanya berpegangan erat. Salah seorang
diantaranya sudah terlelap, sedangkan yang matanya terbalut perban, tidak ada
yang tahu apakah dia telah tidur dan bermimpi atau sadar dan berkhayal dalam
dunia yang dia pikir gelap.
Oleh : Lia
~~·~~ Tamat
~~·~~
The Participant (Cerpen)
Matanya terperangah menghadang temaram
menyusuri ladang ilalang. Ada pamandangan bagus yang mengusik batinnya,
mengundang hasrat untuk menatapnya lama – lama. Indah memang, terang bulan ketika
purnama cahayanya membiaskan gambar siluet dari seekor kijang liar di atas
bukit. Kala malam di sebuah hutan. Seekor singa jantan yang masih kelaparan
lebih memilih untuk pulang, meski ia sadar kalau dengan hanya memandang
hasratnya takkan terpuaskan. Tapi, pemandangan
indah tadi sudah cukup baginya, cukup untuk malam ini.
***
Seekor singa jantan
dengan badan yang kurus, sudah lima bulan ia tidak memangsa sejak pertama kali
dinobatkan menjadi raja. Gaya hidupnya kini berubah. Ia bukan lagi pemangsa.
Kecintaan singa pada rakyatnya membuat ia lebih memilih untuk menjadi vegetarian. Singa makan sayur menurutnya lebih
terhormat daripada harus memakan rakyatnya.Tapi hal itu pula yang menjadi bumerang
baginya. Kesehatannya lambat laun kian menurun, kini ia menjadi sakit –sakitan.
Tidak kuat lagi berlari, bahkan mengaumpun layaknya kucing betina yang sedang marah.Tak
ada lagi yang bisa diandalkan,ia pun kini tak bisa mengejar musuh, apalagi melindungi
hutan. Yang ada hanya Sang Singa Raja Hutan pesakitan, dan kini suasana hutan
kian mencekam karena tengah diteror serangan anjing – anjing liar.
“Kau lihat gajah, gajah itu besar,
bisa melindungi apa saja di daratan. Kau lihat buaya, dia bisa menjaga binatang
– binatang lain di sekitar rawa. Belum lagi harimau, ular, dan lainnya. Tanpa harus
mengandalkan aku, sebenarnya kalian bisa hidup tentram. Sudah terlalu banyak
jagoan di hutan ini. Kenapa harus bingung kalau kehilangan satu ?”
“Sudahlah, jangan berkilah. Aku lihat
tadi malam bagaimana kau terperangah menatapi siluet seekor kijang di bukit. Kau
tak mengalihkan pandangan barang sedetik, air liurmu menetes –netes di tanah. Kau
tahu kau sangat menginginkannya, tapi lantas kau lebih memilih mengunyah rumput
basah didepanmu daripada memburunya. Setelah merasa cukup, kau lantas pulang. Perutmu
saja yang kenyang, tapi hasratmu sebagai pemburu kelaparan dahsyat. Sampai kapan
kau akan bertahan dengan kebiasaanmu yang memuakkan itu? ”
“Sampai kapan ? selama aku masih dipercayakan
oleh rakyatku untuk mengemban tugas sebagai raja mereka. Aku akan terus seperti
ini. Aku tidak mungkin memakan mereka yang seharusnya aku lindungi. Mereka memilihku
karena butuh perlindungan. Mereka sudah cukup lemah.”
“Tapi apa kau bisa melindungi mereka
dengan keadaanmu sekarang. Nantinya kau malah mati konyol. Singa munafik yang
mati karena kurang gizi. Hah, amit – amit kalau aku mendengar ada berita seperti
itu. Apalagi kalau tahu yang mati itu adikku sendiri. Lebih baik aku saja yang
mati, terkena panah nyasar. Itu jauh lebih terhormat.”
”Dalam sebuah sistem butuh partisipasi
dari setiap individu. Tapi hanya ada 3 hal yang akan terjadi setelah kita tidak
berpartisipasi lagi di dalam sistem itu. Sistem itu akan memburuk, biasa –
biasa saja, atau justru menjadi lebih baik karena ketidaksertaan kita didalamnya.
Jadi janganlah terus mengait – ngaitkan kebiasaanku sekarang dengan serangan
anjing liar itu. Sistem pertahanan hutan harus tetap berjalan, meski bukan aku
lagi yang menjadi punggawanya.”
“Kau harus kembali seperti dulu
Adikku, simpan keras kepalamu. Jangan Naif. Aku tahu disini banyak sekali
jagoan. Tapi mereka hanya serdadu - serdadu yang butuh kau arahkan. Jika tidak
mereka hanya akan membabi buta tak keruan. Menyerang seenaknya ke segala arah,
lalu kalah. Kau rela melihat rakyatmu, serdadu –serdadumu itu, yang kau bilang
jagoan- jagoan itu, mati satu per satu ? Pikirkanlah. Dan selagi kau berpikir,
aku punya tamu untukmu. Mungkin kehadirannya bisa membuatmu melunak. Sedari
tadi ia menunggu diluar. Kita sudahi saja percakapan ini.”
“Siapa tamu itu ?”
“Nanti juga kau tahu, akan aku
panggilkan. Sambil aku menunggu kalian saja di luar.”
Seekor kijang
jantan nan gagah berjalan memasuki istana. Istana Hutan ini bukan merupakan
bangunan megah yang gemerlap. Istana di sini hanya terbuat dari susunan ranting
sebagai pagarnya, jerami kering sebagai atapnya, beralaskan tanah, berdinding
bambu yang dipasang rapat, dan singgasana dari sisa batang pohon tua yang
tumbang. Sang Raja rupanya mengenali tamunya ini, tamu yang lekuk tubuhnya
menyerupai siluet yang semalam dipandanginya di bukit. Si Kijang menghadap kepada
Raja Hutan, Singa itu menahan hasratnya, ia lapar memang.
“Jangan, jangan… Tahan,tahan… Jangan
lihat itu, itu hanya tipuan. Dibalik tubuh yang sehat dan tanduk yang gagah itu
tersimpan kelemahan. Apa kau tega melumatnya, dia itu rakyatmu.” Dalam hatinya Singa
bergejolak, tapi lantas dengan sekejap ia mampu menguasai emosinya dan berkata.
“Ada apa gerangan kau menghadapku
Kijang ?”
“Sebelumnya hamba mohon maaf Paduka,
atas kedatangan hamba yang mungkin mengejutkan Paduka. Hamba menghadap, dengan
niat tulus hamba untuk ikut menjaga keamanan dan ketentraman hutan ini.” Jawab
Kijang Jantan Itu dengan kepala yang menunduk.
“Apa yang kau maksudkan, Kijang? aku
tidak mengerti, aku tidak pernah memanggilmu untuk menghadapku untuk kumintakan
bantuan. Sadarkah kalau kau hanya seekor kijang biasa, kau bukan prajurit. Bahkan
kau pun tidak bisa melindungi diri dari pemangsa lain.”
“Mohon maaf Paduka, tapi hamba memang
tidak ingin menjadi seorang prajurit yang mengabdikan diri hamba untuk berperang.”
“Lalu dengan cara apa kau akan
melaksanakan niat baikmu itu ?”
“Maafkan hamba atas kelancangan
hamba paduka, tapi hamba terlalu menyadari bahwa hamba ini hanya binatang lemah.
tapi ijinkan hamba berpartisipasi dengan cara hamba sendiri . Yang pastinya ini
akan berhasil dan dapat menyelamatkan hutan
ini. Untuk itu hamba dengan suka cita merelakan diri untuk dijadikan santapan makan
malam bagi Paduka Raja.”
“Picik sekali pikiran kakakku
itu. Dia lakukan segala cara agar aku bisa kembali sehat. Tidak – tidak. Kau
pergi saja. Aku tidak mau mengorbankan salah satu dari rakyatku untuk
kepuasanku sendiri.”
“Ini bukan masalah picik atau
cerdik, kepuasan sendiri atau pengorbanan. Kau lihat, aku sengaja mendatangkan
kijang jantan yang kau perhatikan semalam, yang sangat kau inginkan. Untuk
kebaikan semua rakyatmu, ia saja rela mengorbankan dirinya untuk jadi santapan
makan malammu. Kenapa kau tak rela sedikitpun untuk mengorbankan keras kepalamu
itu. Aku tak habis pikir.” Ujar Sang Kakak yang tiba – tiba menyelinap masuk.
Sang raja terdiam, semua yang ada
diruangan membisu. Suasana amat hening, semua seakan sengaja membungkam diri untuk
memberikan ketenangan Sang Raja yang tengah berpikir. Tak lama, sang raja
menghembuskan nafas kencang, dan keputusannya pun diumumkan.
“Hmm, Baiklah jika itu mau
kalian. Siapkan aku kijang lain yang kurus, penyakitan dan hampir mati. Jangan
yang ini. Aku tak mau yang ini. Singkirkan dia dari sini sebelum aku berubah
pikiran. Siapkan makan malamku. Kita berpesta malam ini.”
***
Dimalam yang
cerah penuh cahaya bulan. Telah tersaji hidangan makan malam sesuai permintaan
Raja. Kijang kurus, penyakitan, dan hampir mati. Malam ini hutan berpesta,
Rakyat dari segala penjuru tengah berkumpul untuk menyaksikan momen berharga
ini. Ketika Kakak dari Sang Raja selesai
memberikan sambutannya. Dengan lahap Sang Singa Raja Hutan itu menikmati
santapan makan malamnya. Suasana pecah, gemuruh sorakan rakyat hutan menggema. Semuanya
merayakan hari kembalinya raja mereka sebagai Singa. Singa itu berlumuran darah
di wajah dan cakarnya, sementara kijang hanya terbaring tak bernyawa dengan tubuhnya
yang terkoyak .Singa mengaum kembali dengan auman yang lantang, jantan dan terdengar
lebih tangguh.
Sudah menjadi hukum
alam, Singa yang terlahir untuk menjadi yang kuat dan melindungi yang lemah, selemah
– lemahnya, ia harus dikembalikan kepada kodratnya. Begitu juga dengan kodrat
kijang itu. Biarlah setiap mereka berpartisipasi sesuai kemampuannya sendiri.
Entah apapun hasil dari peran mereka nanti, akankah keadaan kian memburuk, biasa saja, atau
bahkan membaik.
The
End
Oleh : Lia
Putri Dongeng (Cerpen)
Di sudut kota sebelah utara, di sebuah toko
buku kuno kecil di seberang halte bus itu aku sering berjumpa dengannya,
bukan perjumpaan – perjumpaan antara sepasang kekasih yang saling mencintai.
Tapi aku hanya menatapnya dari kejauhan, melihatnya yang sedang menata buku,
dan membersihkan toko sebelum buka, hanya dari kejauhan. Entah kenapa sampai
saat ini aku belum bisa memberanikan diri untuk menghampirinya dan berkenalan,
setidaknya kami bisa mengobrol setelah itu. Hanya mengobrol, bahkan itu seperti
mimpi. Dirinya seperti putri dalam dongeng yang ada di benakku. Hingga aku tak
mau melewatkan kisahnya. Andaikan ini mimpi, aku tak mau terbangun. Tapi
sayang, ini kenyataan dan aku hanya mahir dalam berkhayal. Kenyataan di dunia ini
bukan milikku. Aku hanya mendapat peran sebagai pemanis di panggung sandiwara
maha megah ini. Sedangkan putri itu, putri dongengku, tentu saja pemeran
utamanya. Tugasku hanya menjaga keselarasan cerita. Aku tak mau jadi penghancur
alur cerita dengan bersamanya. Putri itu selayaknya juga mendapatkan pangeran
tampan yang sebagai pemeran utama juga. Yang sebanding dengannya. Seorang yang
telah digariskan Tuhan untuk menjaganya.Sedangkan aku, aku hanya sebagai
pengagumnya. Itu perbedaan yang cukup signifikan bukan?
Semua itu, aku dan khayalanku akan putri
dongeng itu bermula beberapa tahun yang lalu.Tentu saja ditempat yang sama
dimana aku sering memandanginya seperti sekarang ini. Di sudut kota sebelah
utara. Saat itu aku sedang menunggu bis untuk membawaku ke tempatku
bekerja di St. Wishburg. Kala itu musim dingin, saat itu aku hanya
terdiam menoreh ke segala arah. Aku bosan dengan pekerjaan satu ini, menunggu.
Sampai mataku menangkap pemandangan yang menakjubkan. Membuatku enggan berkedip
walau untuk sedetik. Di seberang jalan yang tepat dari halte bus tempatku
menunggu, di sebuah toko buku kuno kecil, ada seorang gadis manis sedang
merapikan buku – buku dan membersihkan toko. Senyum yang menawan, Rambutnya
berkilau. Seandainya ia juga melihatku. Tapi tak apa. Sejak saat itu aku senang
menunggu. Bahkan menunggu kini jadi hobiku. Aku tak lagi menggerutu saat
mengunggu. Entah hal gila apa ini. Tapi aku selalu menikmatinya. Sepasang mata
penuh takjub yang tak pernah bertemu dengan matanya, aku seperti menjadi halte
bus yang bisu dan tak pernah ia pedulikan meski nyata ada di hadapan.
Pernah pada suatu hari aku mencoba untuk
berjalan menyebrang untuk menghampirinya. Aku mau berpura – pura membeli buku,
meski aku tak suka membaca. Atau hanya sekedar memastikan pandanganku dan
berupaya menyentuhnya agar aku yakin dia itu nyata. Tapi itu hanya ide konyol
yang terus berputar – putar menari riang di dalam benakku. Ide itu bahkan telah
membentuk labirin, hingga aku tak kuasa untuk melempar diriku keluar dari sana.
Aku tak tahu kapan ide konyol itu akan hilang. Mungkin tak akan pernah hilang,
menjadi abadi seraya hati ini masih mengaguminya, Putri DongengKu.
...
Suatu sore dimusim semi, matahari telah
condong ke barat seolah mengiringi langkah Tom untuk menuju ke sebuah toko buku
kecil di sudut kota sebelah utara. Seorang wanita sejak tadi tengah menantinya
di depan Toko buku. Senyum wanita itu mulai merekah seraya ia menyadari Tom
mulai tampak dari kejauhan berjalan menuju ke arahnya. Setelah mereka
berpapasan, sempat terjadi kebisuan, mereka saling pandang sejenak setelah itu
si wanita menggerakkan alis mata mengisyaratkan bahwa ada sesuatu di dalam toko
yang telah menunggunya. Tom menunjukkan ekspresi binggung. Tiba – tiba
muncul dua anak laki – laki dari dalam toko buku, sambil tertawa – tawa riang
mereka berlari menuju Tom, Tom pun tertawa riang menyambut mereka, anak
laki – laki yang paling kecil digendong lalu dikecupinya, sedangkan yang paling
besar ia rangkul dengan tangannya yang lain. Mereka semua adalah keluarga kecil
yang bahagia. Kebahagian mereka membuat yang lain menatap iri. Selalu begitu
setiap harinya. Sore hari,Tom yang baru pulang bekerja selalu mengunjungi
istrinya yang menjaga toko buku peninggalan orang tuanya. Anak – anak sepulang
sekolah selalu bermain disana, bersama ibunya, di sebuah toko buku kuno kecil,
di pojok kota sebelah utara, di seberang halte bus.
...
Waktu menunjukan pukul delapan malam,
di halte bus kala itu sudah sepi, terlebih pada musim dingin seperti ini.
Sudah tidak ada orang yang menunggu bus lagi. Jalanan pun sepi. Diseberang
jalan, di sebuah toko buku kuno kecil, tampak seorang pak tua bersama anak
gadisnya sedang bersiap untuk menutup toko. Ditengah itu, si gadis hanya
menatap ke arah halte bus dengan wajah iba. Ayahnya menghampiri si gadis dan
bertanya.
“Apa yang sedang kau perhatikan Rosenne ? mengapa kau
terus menatap ke arah halte itu?” Tanya sang Ayah.
“Ayah, aku sedang memperhatikan pemuda itu. Ia sudah
sejak sore tadi tertidur lelap di Halte. Kau mengenalnya Ayah?”
“Barangkali itu Tom, Tom Delaunger. Ia memang sering
menunggu bus di halte seberang sana.”
“Tom delaunger ? apa ia tidak memiliki rumah ? dan
bagaimana kau bisa mengenalnya Ayah ?”
“Entahlah, mungkin saja ia memang tidak memiliki
rumah. Ayah kerap kali bertemu dengannya. Ia seniman jalanan yang
berbakat, ia biasa bermain di St. Wishburg. Ayah menyukai
pertunjukannya.”
“Huhf, pria malang. Sejak tadi dia tertidur lelap di
halte, di udara sedingin ini. Seperti tak mau terbangun, mungkin mimpinya
terlalu indah untuk diakhiri.”
“Sudahlah Rosenne, mungkin dia hanya mabuk. Ayo teruskan
berkemas, agar kita bisa tiba dirumah lebih awal. Ibumu sudah memasak lasagna
tomat yang enak untuk kita.”
Di halte bus, dimalam hari yang semakin
larut, terbaring seorang pria yang tengah bermimpi. Terlalu indah mimpinya
hingga Ia takut untuk terjaga dan mengakhiri segalanya. Karena mimpi itu tak
akan berlanjut atau datang kembali. Mimpi antara dirinya dan putri dongengnya.
Bahkan untuk mimpi yang satu ini, ia harus menunggunya untuk beberapa tahun
lamanya.
Tamat~